Minggu, 24 Januari 2010

sadd ad dzariah

TUGAS MAKALAH
USHUL FIQH
SADD ADZ-DZARIAH




Dosen pembimbing: Dr. Suhar AM. M,Ag










Disusun oleh:
Ghazali Abbbas
Lukman
Sri Insani






FAKULTAS TARBIYAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SULTAN THAHA SAYFUDIN JAMBI
2008
I. PENDAHULUAN

Setiap perbuatan yang secara sadar dilakukan oleh seseorang pasti memepunyai tujuan tertentu. Yang jelas tanpa mempersoalkan apakah persoalan perbuatna yang dilakukan itu baik atau buruk, mendatangkan manfaat atau menimbulkan mudharat. Sebelum sampai pada pelaksanaan perbuatan yang diutju itu ada serentetan perbuatan yang mendahuluinya yang harus dilaluinya.
Bila seseorang hendak mendapatkan ilmu pengetahuan umpama nya, maka ia harus belajar. Untuk sampai dapat belajar, ia mesti melalui beberapa fase kegiatan seperti mencari guru, menyiapkan tempat dan alat-alat belajarnya. Kegiata pokok dalam hal ini adalah belajr atau menuntut ilmu, sedangan kegatan itu disebut perantara. Jalan atau pendahuluan.
Sebelum melakukan zina, ada hal-hal yang mendahuluinya, sepserti rangsangan yang mendorong berbuat zina dan penyedian kesempatan untuk melakukan zina itu. Dalam hal ini zina disebut perantara atau pendahuluan.
Perbuatan-perbuatan pokok yang dituju oleh seseorang telah diatur oleh syara’ dan termasuk ke dalam hukum taklifi yang lima atau yang disebut al-ahkam al khamsah. Untuk dapat melakukan perbuatan pokok yang disuruh atau yang dilarang, harus terlebih dahulu melakukan perbuatan yang mendahului nya. Keharusan melakukan atau menghindarkan perbuatan yang mendahului perbuatan pokok itu ada yang telah diatur sendiri hukumnya oleh syara’ dan ada yang tidak diatur secara langsung contohnya:
1. Whudu adalah perbuatan pendahuluan (perantara) untuk melaksanakn shlat, namun kewajiban itu sendiri telah diatur hukum nya dalam Al Quran. Dalam hal ini jelas bahawa hukum untuk perbuatan pendahuluan (perantara) itu sama dengan hukum bagi perbuatan pokok yaitu sama-sama wajib.
2. Menuntut ilmu hukumnya wajib berdasarkan hadist Nabi. Namun untuk terlaksananya kewajiban menuntut ilmu itu, ada yang harus dilakukan sebelumnya, seperti mendirikan sekolah. Tetapi untuk mendirikan sekolah itu tidak ada dalil hukumnya secara langsung. Dapatka dikatakan bahwa membuat sekolah wajib sebagaimana wajibnya menuntut ilmu sebagai perbuatan dituju?
3. Berzina adalah perbuatan haram yang harus dijauhi. Untuk dapat menjahui perbuatan zina itu haurs menghindari perbuatan yang mendahuluinya, yang dapat mengantarkannya pada zina, seperti berkhlwat (berdua-duaan ditempat sepi). Khlwat sebagai perbuatan perantara bagi zina itu sendiri sudah ada hukumnya (haram) yang ditetapkan dalam hadist Nabi. Dalam hal ini hukum perbuatan pendahuluan (perantara) adalah sama dengan hukum perbuatan pokok yang dituju, yaitu sama-sama haram.
Berwhudu sebagai perantara bagi wajibnya sholat. Hukumnya adalah wajib, demikian pula berkhalwat sebagai perantara kepada zina yang diharam, hukumnya adalah haram. Masalah seperti ini tidak diperbincangkan para ulama karena hukumnya sudah jelas. Untuk berlaku qoidah:
كِلْوَ سَائِلِ كَحُكْمِ المَقَاصِدِ
Bagi wasiat (perantara) itu hukmnnya adalah sebagaimana hukum yang berlaku pada apa yag dituju.
Persoalan yang diperbincangkan para ulama adalah perbuaqtan perantara (pendahuluan) yang belum mempunyai dasar hukumnya, prbuatan perantara itu disebut oleh ahli ushul dengan Al-dzariah (الذريعة ).

II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Sadd Adz-zariah
Secara bahasa kata Sadd berarti menutup dan al-zariah berarti wasilah atau jalalan kesuatu jalan kesuatu tujuan. Dengan demikian sadd adzariah berarti menutup jalan yang mencapaikan kepada tujuan. Dalam kajian ushul fiqh sebagaimana dkemukakan Abdul Karim Zaidah, Sadd Adz-zariah adalah menutup jalan yang membawa kebinasaan atau kejahatan. Sebagian ulama mengkhususkan pengertian dzariah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudharatan. Akan tetapi, pendapat tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, diantaranya Ibnu Qattim Aj-Jauziyah yang menyatakan bahwa dzariah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan demikian, lebih tepat kalau adzariah (yang dilarang), Fath Fiqh (Zikrul Hakim, Jakarta Timur, 2004) (yang dianjurkan). Pengertian sadd-adzariah, menurut Imam Asy-Syatibi adalah
أَلتَّوَصَّلُ بِمَا مَصْلَحَةُ مَفْسَدَةٍ
Artinya: melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemasalahatan dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa Sadd-Adzariah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan, tetapi berakhir dengan suatu kerusakan.
Contohnya haul (genap setahun) ia menghibahkan hartanya kepada anaknya sehingga dia terhindar dari kewajiban zakat.
Hibbah (memberikan sesuatu kepada orang lain, tanpa ikatan apa-apa) dalam syariat Islam, merupakan perbuatan baik yang mengandung kemaslahtan, akan tetapi bila tujuannya tidak baik, misalnya untuk menghindarkan dari kewajiban zakat maka hukum zakat adalah wajib, sedangkan hibbah adalah sunnah.
Menurut Imam Asy-Syatibi ,ada kriteria yang menjadikan suatu perbuatan itu dilarang, yaitu:
a. Perbuatan yang tadinyaboleh dilakukan itu mengandung kerusakan.
b. Kemafsadatan lebih kuat dari pada kemaslahatan.
c. Perbuatan yang dibolehkan syara’ mengandung lebih banyak unsur keman faatannya.
B. Macam-Macam Dzariah
Para ulama membagi dzariah berdasarkan dua segi-segi kualitas kemaf sadatan, dan segi jenis kemafsadatan.
a. Adzariah dari segi kualitas kemafsadatan
Menurut Imam Abu Syatibi membagi Adzariah kepada 4 macam, yaitu:
a. Dzariah yang membawa kepada kerusakan secara pasti. Artinya, bila perbuatan chariah itu tidak dihindarkan pasti akan terjadi kerusakan. Umpamanya: menggali sumur di depan rumah orang lain pada waktu malam, yang menyebabkan pemilik tumah jatuh ke dalam sumur tersebut. Maka ia dikeni hukuman karena melakukan perbuatan dengan sengaja.
b. Dzariah yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya, dengan arti kelau Dzariah itu dilakukan, maka kemungkinan besar akan timbul kerusakan atau akan dilakukannya prbuatan yang dilarang.
Umpamanya: menjual anggur kepada pabrik pengolahan minuan keras, atau menjual pisau kepada penjahat yang sedang mencari musuhnya, menjual anggur itu boleh-boleh saja dan tidak mesti pula anggur yang dijual itu dijadikan minuman keras, naun menurut kebiasaan, pabrik minuman keras membeli anggur untuk dioleh menjadi menuman keras. Demikian pula menjual pisau kepada penjahat. Kemungkinan besar akan digunakan utnuk membunuh atau menyakiti orang lain.
c. Dzariah yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut kebanyakan. Hal ini berarti bila Dzariah itu tidak dihindarkan seringkali sesudah itu akan mengakibatkan berlangsungnya perbuatan yang dilarang. Umpamanya jual beli kredit. Memang tidak selalu jual beli kredit itu membawa kepada riba, namun dalam prakteknya seirng dijadikan sarana untuk riba.
d. Dzariah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau perbuatan terlarang, dalam hal ini seandainya perbuatan itu dilakukan, belum tentu akan menimbulkan kerusakan. Umpamanya mengali lobang di kebun sendiri yang jarang di lalui orang, menurut kebiasaannya tida ada orang yang lewat di tempat tertutup kedalam lobang. Namun tidak tertutup kemungkinan ada yang nyasar lalu dan terjatuh ke dalam lobang.
b. Dzariah dari segi kemafsadatan yang ditimbulkan
Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziah, pembagian dari segi ini antara lain sebagai berikut:
1. Dzariah yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan seperti meminum yang memabukkan yang membawa kepada kerusakan akal atau mabuk. Perbuatan zina yang membawa pada kerusakan tata keturunan.
2. Dzariah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk perbuata buruk yang merusak, baik dengan sengaja, seperti nikah muhalli, atau tidak sengaja sepserti mencaci sembahan agama lain. Nikah itu sendiri hukumnya pada dasarnya boleh, namun dilakukan dengan niat menghalalkan yang haram menjadi tidakboleh hukumnya. Mencaci sembahan agama lain itu sebenarnya hukumnya mubah, namun karena cara tersebut dapat dijadikan perantara bagi agama lain untuk mencaci Allah menjadi terlarang.
3. Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan, namun biasanya samapi juga kepada kerusakan yang mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannya. Seperti berhiasnya seseorang perempuan yang baru kematian dalam masa iddah, berhiasnya perempuan boleh hukumnya, tetapi dilakukannya berhias itu justru baru saja suaminya mati dan masih dalam masa iddah keadaannya lain.
4. Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, namun tekandung membawa kepada keruasakan, sedangkan kerusakannya lebih kecil dibanding kebaikannya. Contoh dalam hal ini melihat wajah perempuan saat dipinang.



C. Kehujjahan Sadd Adz- Dzariah
Dikalangan ulama ushul terjadi perbedaan pedapat dalam menetapkan kehujjahan sadd adz-dzariah sebagai dalil syara’ ulama melikiyah dan hanafiah dapat menerima kehujjahannya sebagai salah satu dalil syara’. Alasan mereka antara lain:
Firman Allah dalam surat An An’am:
وَلَا تَسُّبُوْاالَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ فَيَسُبُّوْاالله عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمِ.... ﴿الانعم 108﴾
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan….(QS: An An’am:108)
Dalam ayat ini Allah melarang kaum muslimin memaki-maki orang musryikin atau tuhan yang mereka sembah. Karena perbuatan yang demikian itu menjadi sebab mereka akan membalas memaki-maki Tuhan Allah SWT.
Dan firmannya lagi:
يَأَ يُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا لَابَقَوْلُوْا رَاعِنَا وَقُلُوْا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوْا......
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): "Raa'ina", tetapi katakanlah: "Unzhurna", dan "dengarlah." .....
Tuhan melarang kum mukmin berkata kepada Rasulullah SAW,raa’ina. Lantaran orang yahudi menjadi kata-kata itu sebagai meda untuk mengejek Rasulullah SAW. Dengan mengertikan kata-kata itu menurut pengertian bahasa mereka.
Sumber dari hadist antara lain, sabdaRasulullah:



“Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya, lalu Rasulullah SAW ditanya,”wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang akan melaknat ibu bapak nya. Rasulullah SAW manjawab”seseoang yang mencaci maki ayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicaci maki orang lain dan seseorang mencaci maki ibu orang lain, maka orang lain pun mencaci maki ibunya.(HR. bukhori dan Muslim).
Kemudian larangan kepada orang yang mempiutangkan hartanya menerima hadahdari orang yang brhutang untuk menghindarkan terjerumus dalamperaktek riba, mengambil hadiah tersebut sebagai ganti atas kelebihan. Dalam kauss lain, Nabi, melarang pembagian harta warisan kepada anak yang membunuh bapaknya(HR. Bukhori dan Muslim) . Larangan ini penting untuk mencegah terjadinya pembunuhan orang tua oleh anak-anak dengan alas an agar segera memperoleh harta warisan.
Dari beberapa nash yang telah dikemukakan diatas, dipahami bahwa Islam melarang suatu perbuatan yang dapat menyebabkan sesuatu yang terlaran, meskipun perbuatan tersebut semulanya dibolehkan.
Sementara dikalangna Hanafiyah, Syafi’iyah dan Syiah hanay menerima Sadd adz-Dzariah dalam masalah tertentu dan mereka tidakmenjadikannya sebagaiii dalil dalam masalah-masalah lain, misalnya, Imam Syafi’I membolehkan seseorang yang karena uzur, seperti sakitdan musafir meninggalkan sholat zuhur, namun, orang tersebut hendaklah melaksanakan sholat zuhur secara diam-diam dan tersembunyi supaya tidak dituduh sengaja meniggalkan sholat jum’at. Begitu pula dengan orang yang tidak puasa Ramadhan karena uzur agar makan dan minum di tempat umum uuntuk menghindar fitnah terhadap orang tersebut. Pedapat-pendapat Imam Syafi’I ini dirumuskan atas dasar perinsip Sadd adz-Dzariah.
Menurut Husain Hamid , salah seoang guru besar Ushul Fiqh fakultas hokum Kairo, ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah menerima Sadd adz-Dzariah apabila kemafsadatan yang akan munscul benar-benar akan terjadi atau sekurang-kurangnya kemungkinan besar (galabah adz-zhan) akan terjadi.
Dalam memandang dzariah, aa dua sisi yang dikemukakan oleh para ulama Ushul:
1. Motivasi seseorang Alma melakukansesuatu. Contohnya, seorang laki-laki yang menikah dengan perempuan yang sudah ditalak tiga oleh suaminya yang pertama. Perbuatan ini dilarang karena motivasinya tidak dibenarkan syara’.
2. Dari segi dampak (akibat), misalnya seorang muslim mencaci maki sembahan orang, sehingga orang musyrik tersebut akan mencaci maki Allah. Oleh karena itu dilarang.
Perbedaan antara Sydfi’iyah dan Hanafiyah disatu pihak dengan Malikiyah dan Hanabilah dan pihak lain dalam berhujjah dengan Sadd adz-Dzariah adalah dalam masalah niat dan akad. Menturut ulama Syafi’iah dan Hanafiyah oleh orang yang bertransaksi. Jika sudah memenuhi syarat dan rukum maka akad transaksi tersebut dianggap sah. Adapun maalah niat diserahkan kepada Allah SWT. Menurut mereka selama tidak ada indikasi yang menunjukkan niat dari perilaku maka berlaku kaidah:


“patokan dasar dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak hamba adalah lafalnya.
Akan tetapi, jika yang tujuan orang yang berakad dapat dtangkap dari bebrapa indicator yang ada, maka berlaku kaidah:


“yang menjadi patokan dasar dalam perikatan-perikatan adalah niat dan makna lafadz dan bentuk formal (ucapan).
Sedangakan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, yang menjadi ukuran adalah niat dan tujuan. Apabila suatu perbuatan sesuai dengan tujuan semestinya, tetapi tidak ada indikasi yang menunjukan bahwa niatnya sesuai dengan tujuan tersebut, maka akadnya tetap dianggap sah, tetappi ada perhitungan a ntara Alah dan pelaku, karena yang paling mengetahui niat seseorang hanya Allah saja, apabila ada indicator yang menunjukkan niatnya dan niat itu tidak bertentangan dengan tujuan syara’ maka akadnya sah, namun apabila niatnya bertentangan dengan syara’, maka perbuatannya dianggap fasid namun tidak ada efeknya hukumnya
Golongan zhaniniyah tidak mengakui kehujahn Sadd adz-Dzariah sebagai salah atu dalil dalam menetapkan huku sayara’ dal itu sesuai dengan perinsip mereka yang hanya menggunakan nash secara harfiah saja dan tidak menerima campur tangan logika masalah hukum.

D. Fath Adz-Dzariah
Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah dan imam Al-Qarafi , mengatakan, bahwa Dzariyah itu adakalanya dilarang yang disebutkan Sadd adz-Dzariah dan adakalanya dianjurkan bahkan diwajibkan yang disebut Fath adz-Dzariah. Misalnya meniggalkan segalaaktivits untuk melaksanakan shalat Jum’at yang hukumnya wajib.
Pendapat tersebut dibantah oleh Wahbah Al-Juahili yang menyatakan bahwa pebuatan seperti di atas tiak termasukkepada Dzariah, tetap dikategorikan sebagai muqaddimah (pendahuluan) dari suatu pekerjaan. Apabila hendak melakukan suatu perbuatan yang huumnya wajib, maka berbagai upaya dalam rangka melaksanakan kewajiban tersebut hukumnya wajib, sesuai dengan kaidah:

Apabila suatu perbutan bergantung pada sesuatu yang lain maka sesuatu yang lain itu pun wajib.
Begitu pula segala jalan yang menunjuk kepada sesuatu yang haram maka sesuatu itupun haram sesuai dengan kaidah.

Segala jalan menuju terciptanya suatu pekerjaan yang haram, maka jalan itu pun haram.
Misalnya: seseorang laki-laki haram berkhlwat dengan wanita yang bukan muhrimnya atau melihatnya, karena hal itu akan memabawa perbuatan haram yaitu zina, menurut Jumhur, melihat aurat dan berkhlwat dengan wanita yang bukan muhrim ini disebut pendahuluan kepada yang haram (muqaddimah al-humah).
Para ulama telah sepakat tentang adanya hokum pendahuluan tersebut, tetapi mereka tidak sepakat dalam menerimanya sebagai Dzariah. Ulama malikiyah dan Hanabilah dapat menerima sebagai Fath Dzariah, sedangkan ulama Syfi’iyah dan Hanafiyah dan sebagian Malikiyah menyebutkannya sebagai muqaddima, tidak termasuk sebagai akidah dzariah, namun nereka seapkat bahwa dal itu bias dijadikan sebagai hujjah alam menetapkan hukum.



KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah kami paparkan, maka daat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut:
Sad Secara bahasa kata Sadd berarti menutup dan adzariah berarti wasilah atau jalalan kesuatu jalan kesuatu tujuan. Dengan demikian sadd al-zariah berarti menutup jalan yang mencapaikan kepada tujuan dengan demikian sadd- Dzariah berarti menutup jalan yang mencapai kepada tujuan, menurut imam Asy Syatibi sadd-Dzariah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan tetapi berakhir seuatu kerusakan.
Para ulama membagi dzariah berdasarkan dua segi; segi kualitas kemaf sadatan, dan segi jenis kemafsadatan.
a. Adzariah dari segi kualitas kemafsadatan
1) Dzariah yang membawa kepada kerusakan secara pasti.
2) Dzariah yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya.
3) Dzariah yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut kebanyakan.
4) Dzariah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau perbuatan terlarang.
b. Dzariah dari segi kemafsadatan
1) Dzariah yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan.
2) Dzariah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk perbuata buruk yang merusak, baik dengan sengaja.
3) Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan.
4) Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, namun tekandung membawa kepada keruasakan, sedangkan kerusakannya lebih kecil dibanding kebaikannya.

ushul fiqh

A.
Pendahuluan

Ushul fiqh merupakan ilmu yang mempelajari dasar – dasar fiqh. Karena untuk memahami/mengetahui hukum tentang pegkajian hukum tentang Islam. Dalil dalil ini merupakan pondasi dalam menetukan suatu pernyataan jadi jelas ushul fiqh merupakan metode untuk mengkaji dan memahami hukum secara komprehensif.
Ta’rif (definisi) suatu yang mendasar ini telah disepakati oleh seluruh mazhab, sekalipun berbeda pendapat dalam menetapkan hukum, namun mereka berpendapat mengadakan setiapa apa yang berasal dari perkataan seseorang sama saja. Baik berupa ibadat/muamalat / perjanjian / tindakan – tindakan di dalam syariat Islam.
Dalam ushul fiqh, seperti yang diugkapkan ulama besar Islam asal spanyol, di bicarakan tentang siapa yang membuat hukum dalam syariat Islam. Para ulama sepakat menyatakan Allah sebagai pihak yang berwenang sebagai pihak yang berwenang membuat hukum. Dalam konteks ini, Allah yang disebut Syari’ . Sebagaimana firman Allah:
Artinya Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik."(QS: An An’am :57)
Jadi jelas bahwa dalam ushul fiqh yang diutamakan adalah kepada nash yaitu Al-qur’an dan Sunnah sesuai dengan ayat Al quran yang di jelaskan tadi. lalu bagaimana bila tidak ditemukan nash Al qur’an? Jika tidak ditemukan kemudian itu Sunnah nabi. Kata banyak ulama mengatakan bahwa apa yang dikatakan Rasul adalah wahyu sebagai mana yang tersurat dalam surat An najm Allah berfirman
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (AnNajm:4)
Kemudian jika tidak di temukan boleh berijtihad secara hati-hati. Hal seperti ini yang dilakukan Muaz bin Jabal ketika beliau di utus di yaman menduduki sebagai qadhi. Dari jawaban beliau itu mendapat tanggapan dari Rasullullah. firman Allah surat Annisa:59
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS:surat An nisa :59)
Dengan demikian jadi jelas bahwasanya al nushus merupakan hal yang pertama. Syatibi memperinci pendangan sebagai metode dalam menemuakan maqasit alsyari’ yaitu pertama, berpegang nash (al nushus) dalam menetapkan hukum, yang pertma kali dijadikan rujukan adalah lafal dan makan lughowi alquran dan sunnah. dalam konteks ini yang menjadi fokus kajian adalah lafal-lafal nash yang ‘am, khas, mutlak,muqayyan,mustarak,mantuk,mafhum,amr, nahi, tak hir, persoalanasikh dan mansukh dan sebagainya yang berkaitan dengan dilalah lafziah untuk memahami nash diperlukan kemampuan bahasa arab yang baik dan ilmu-ilmu pendukunnya, sehingga tidak terjadi kesalahan memahaminya.
Kedua, memperhtikan al ilat wa alhikmah. Metode ini disebut juga dengan qiyas. Qiyas menurut bahasa berarti mengukur sesuatu dengan suatu yang lain untuk mengetaui persamaan diantara keduanya. Qiyas merupakan salah satu kegiatan ijtihad yang dilakukan mujtahij dalam memecahkan masalah hukum yang tidak ditegas kan Alquran dan sunnah.
Dalam qiyas, yang amat penting diperhatikan tentang rukun qiyas dan persyaratan ilat,karena keduanya merupakan hal mendasar untuk dapat berlaku qiyas. Melalui metode ini, huum Islam mapu merespon sebagai persolan baqru yang belum ada ketetapan hukumnya. Dengan demikian maqasit al syari’(tujuan syari) dapat ditemukan dapat ditemukan berbagai kasus yang belum ada ketepan hukumnya dalam nash melalui kesamaan ilat dengan kasus yang ada dalam nash. Misal pengharaman wiski sabu-sabu dan sejensnya diqiyaskan dalam haramnya hukum khamar pada surah amaidah ayat 90 ada kesamaan ilat diantara keduanya.
Ketiga berpegang pada al maqsit al tsanawiyah. Berdasaarkan tingkat kepentingannya almaqasit al syariyah dibagi menjadi dua pertama al maqasit al awaliyah dan al maqasit al tsanawiyah .

B. Pengertian

Untuk memahami istilah ushul fiqh dapat dilihat dari dua sisi. Dari sisi tarkib idhofi dan dari sisi laqob (sebagai istilah untuk ilmu tertentu). Kata اصول dan الفقه yang mempunyai arti tersendiri. Kata ushul merupakan jama, dari ashl yang berarti dasar bagi yang lain. Atas dasar ini ushul menjadi sandaran bagi fiqh dan sebagai alat untuk malahirkan fiqh.
Secara istilah kata ushul membunyai beberapa arti, yaitu:
1. Al-kaidah al- kulliyah (kaidah umum), yakni suatu ketentuan yang bersifat umum yang berlaku untuk seluruh cakupannya. Misalnya, ketentuan tentang tentang keharaman bangkai bagi seriap muslim yang berlandaskan atas firman Allah:
Artinya: Sesungguh Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, da ging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama)selain Allah. (QS: Albaqarah:173)
2. Dalil (landasan hukum), seperti yang diungkapkan ahli ushul bahwa As;u wujub al-sholat al- kitabu wa al - Sunnah (dalil wajib sholat adalah wajib sholat ada lah Al Qur’an dan sunnah).
3. Rajih (yang terkuat), seperti ungkapan para ahli ushul fiqh. Yang dipandang kuat dari suatu ungkapan adalah makna hakikat.
4. Mustashhab, yaitu memberlakukan hukum yang ada sejak semula tidk ada dalil yang membatalkan atau merubahnya.
5. Al-Majis atau furu’ (cabang), seperti yang dilakukan para ulama mengqiyaskan terjadinya riba pada beras dan gandum. Dalam hal ini,beras merupakan furu’ dan gandum adalah ashl karena ada ketentuan hukum mengenai riba atas hadis nabi.
Sementara fiqh secara etimologi berasal dari kata fiqhan yang masadarnya dari fiil madi fakiha yang fiil modore’aya yafkahu, yang berarti paham. Kata fiqh dengan arti paham sesuai dengan firman Allah:
Kami Banyak tidak mengerti apa yang kamu katakan itu. (QS: Hud:91)
Jadi kata fiqh dikalangan ulama secara khusus telah menjadi hal yang mendalam. Yang mana orang yang memiliki pemahaman yang dalam disebut orang faqih dan kata fuqaha yang muncul di Al qur’an sebanyak 20 kali yang mengacu kepada pemahaman yang mendalam.
Sedangkan menurut arti fiqh istilah Shihab al-Din Abu Al-Abbas Ah mad ibn Idris al qarafi mengemukan . Bahwa fiqh adalah mengetahui tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang berdasarkan dalil.
Kalangan syafi’iyah mendefinisikan fiqh ialah:
Fiqh adalah ilmu tentang hukum syara yang bersifat amaliyah diperoleh melalui dalil-dalil yang terperinci.
Dengan demikian ushul fiqh adalah pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang menjadikan acuan dalam penetapan hukum syari’at yang mengenai perbuatan manusia berdasarkan dalil-dalil yang terperinci atau kumpulan kaidah – kaidah dan pembahasan yang menjadikan acuan di dalam pengambilan hukum syariat tentang perbuatan manusia berdasarkan dalil-dalil yang terinci. Separti yang dikutip dalam buku Kamal Muhktar yang mana dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah, sebagai berikut.
Ushul fiqh adalah Ilmu tantang kaedah-kaedah yang menggariskan jalan-jalan untuk memperoleh hukum – hukum syara’ mengenai perbuatan dan dalil-dalilnya yang terperinci.

C. Objek Kajian Ushul Fiqh
Dari beberapa bahasan ushul fiqh yang telah dikemukakan di atas da pat diketehui bahwa objek kajian ushul fiqh adalah dalil-dalil syara’ kulli yang melaluinya digali hukum syara’. Dalam ushul fiqh dikaji mengenai kehujjahan dalil-dalil yang disepakati, seperti Al Qur’an yang mana Al quran adalah dalil sar’I yang pertama dan utama bagi seluruh hukum. Dan Sunnah sunnah pun menjadi dalil utama setelah Al qur’an. Nash-nash syar’iyahnya tidak dibatasi dalam satu bentuk formulasi tertentu, namun diantara nash-nash itu diformulasikan dalam bentuk amar, bentuk nahi (larangan), serta ada yang berbentuk umum dan mutlak, termasuk janis kulliyah yang diambil dari dalil-dalil sar’I yag umum, yakni Al qur’an. Maka ahli ushul membahas setiap jenis ini untuk menghasilkan hukum umum yang menunjukkan kepada macam bentuk (sighat) dengan memakai penyelidikan dengan menggunakan tata bahasa yang berdasarkan tata bahasa Arab dan penggunaan hukum syari’at Islam. Jika upayanya itu membuahkan suatu ketetapan, bahwa untuk amr menunjukkan pengertian wajib atau bentuk nahi menunujukkan pengertian haram, atau bentuk ‘am menunjukkan lingkup itu semua unsur yang ada di dalamnya atau bentuk mutlak menunjukkan pengertian bahwa ketetapan hukum bersifat mutlak. Dengan demikian, tersusunlah kaidah-kaidah sebagai berikut:
1) Al-amr lil ijab: perintah menunjukkan pengertian wajib.
2) An-nahyu li’tahrim: larangan menunjukkan pengertian haram.
3) Al ‘am yntazhimu jami’a qathan umum, menunjukkan tercangcupnya seluruh unsur dan dalil umum secara Qat’i.
4) Al-muthlaqu yadullu ‘ala ‘i-fardi’syasyai’ bighiri qayyid: mutlak, menunujukkan pengertian umum terbatas.
Kaidah-kaidah kulliyah dan kaidah lainnya yang dihasilkan ulama ilmu ushul, yang dipakai sebagai pedoman dan kaidah ulama fiqh didalam menerapkan bagian dalil umum sehingga menghasilkan hukum syariat Islam mengenai perbuatan manusia secara rinci atau yang bersifat praktis dengan demikian, al faqih dapat menggunalan kaidah amar itu menunjukkan wajib seperti firman Allah.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. (QS:Al -maidah:1).
Dalam hal ini, al fqih akan menetapkan hukum wajib bagi pelaksa naan akad.
Juga bisa menggunakan kaidah An nahyu littahrim itu menunjukkan haram seperti firman Allah:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain. (QS: Al hujarat,49:11)
Dengan demikian al faqih akan menetapkan hukum haram bagi suatu penghinaan kaum terhadap kaum yang lain.
Al faqih bisa menggunakan kaidah al ‘am yantahzimu bayna afradihi qat’an seperti firman Allah:
Artinya: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu (QS: Annisa:23).
Al faqih menetapkan bahwa ibu itu haram dinikah dan Ia juga bisa menggunakan kaidah al muthalaku yadullu ‘ala ayyi fardin, terhadap fiman Allah tentang kifarah zihar.
Artinya: Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak (QS: al Mukadilah:3)
Sehingga dalam menebus perbuatan zihar, dapat ditetapkan hukum dengan memerdekakan budak, baik muslim maupun kafir .
Berdasarkan bahasan tersebut, maka perbedaan antara dalil kulli dan juz’i, serta antara huum kulli dan juzi tampak jelas. Dalil kulli ialah bentuk umum dari beberapa dalil yang tercakup didalamnya, yakni bermacam-macam juz’iyah seperti al amr, annahi,al ‘am, al mutlak, ijma munsharih, ijma suquti dan alqiyas yang terdapat nash pada ilatnya, kemudian diambil istimbat. Karena nya sighat ‘am adalah sighat kulli karena didalam sighat tersebut terdapat semua sighat yang dituangkan dalam bentuk amr. Demikian pula pada bentuk annahi, maka semua sighat yang dituangkan dalam bentuk nahi, termasuk didalam sighat nahi. begitulah seterusnya. Oleh karena itu, amr ialah dalil kulli dna nash dalam bentuk amr adalah dalil juz’i. Begitupula dengan nahi, ia sebagai dalil kulli, sedangkan nash yang berbentuk nahi adalah dalil juz’i.
Adapun hukum kuli dalah termasuk yang darinya melahirkan macam-macam juziyh seperti ijab, tahrim, sihah dan buthlan. Wajib ialah hukum kulli yang didalamnya terkandung makna wajib memenuhi, wajib menyaksikan akad nikah dan kewajiban lainnya. Demikian halnya dengan tahrim (haram),juga sebagai hukum kulli yang didalamnya terkandung makana haram, seperti malaukan zina, mencuri dan lain-lain yang haram begitu sterusnya mengenai sihah dan buthlan. Dapun ijab(wajib) dlah hukum kulli, sednagkan kewajiban melakukan perbuatan tertentu adalah hukum juz’i.
Ulama ushul tidak memicarakan dalil-dalil da hukum juz’iayah,namun hanay membahas dalil – dalil dan hukum kulli, maka disusun kaidah-kaidah kulliyah sebagai dalil, supaya ulam fiqh bisa menggunakan dalil juziyah, agar menghasilkan ketetapan hukum secara terinci. Begitu pula ulama fiqh tidak membicarakan dalil kulli dan hukum – hukum kulli. Mereka ini hanya membahas dalil-dalil hukum –hukum juz’i saja.
Selain dalil yang disepakati ada juga dalili yang ikhtilafi seperti istihsan, maslahah al mursalah, dalam ushul fiqh juga membahas tentang aam, kahs, mutlak, muqayyad, qath’i, zanni, amar, nahi, dan sebagainya. ushul fiqh juga membahas tentang jalan keluar dari dalil yang secara zahir kelihatannya bertentangan, baik melalui cara al-jam’u wa al-taufiq (pekompromian dalil), tarjih (menguatkan salah satu dari dalil-dalil yang bertentangan), nasakh atau tasaqut al dalalain (pengguguran kedua dalil yang bertentangan).
Ushul fiqh mengkaji hukum-hukum syara’ yang meliputi tuntunan berbuat meninggalkan dan pilihan berbuat, meninggalkan da pilihan berbuat atau meninggalkan serta hal-hal yang terkait dengan syarat, sabab mani’, sah, batal, rukhsah, aziamah hakim mahkum fih mahkum alaih bahkan secara khusus persoalan ijtihad pun menajadi lapangan kajian ushul fiqh.
Sedangkan objek kajian fiqh yag dapat diketahui melalui defenisi di atas adalah semua perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan hukum syara’. Dengan kata lain, seorang fakih dalam studinya akan membahas tentang seluk beluk sholat, puasa,zakat, jual beli, sewa menyewa, pernikahan, waris, wakaf, jinayat dan hukum yang lainnya yang berkenaan dengan amalaiah yang hubu- ngannya dengan mukallaf.





D. Perbedaan Fiqh Dan Ushul Fiqh

Fiqh dan ushul fiqh merupakan dua bahasan yang terpisah, namun berkaitan . Ushul fiqh adalah landasan pembuatan fiqh atau dalil-dalil fiqh. sedangkan fiqh adalah yang berkenaan dengan amaliah seseorang yang diperuntukkan orang mukallaf.
Di dalam ushul fiqh hanya membahas tentang landasan atau dalil dalil yang memperkuat hukum. Yang mana dalam ushul fiqhlebih mendahulukan yang nash Al qur an dan sunnah kemudian baru ijma qiyas dan seterusnya. Didalam sunnah pun ushul lebih mendahulukan yang mutawatir dari pada hasan kemudian didalam ushul terdapat pembahasan tntang istihsan, maslahah al mursalah,qiyas sarruma qablaha dan seterusnya. Jadi jelas bahwa ushul fiqh adalah pondasi atau landasan yang kuat, sedangkan fiqh Ia hanya membahas tentang pelaksanaan atau pencetusnya seperti sholat dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Yang mana ini merupakan kawasan fiqh sedangkan bahasan ushul fiqh nya ialah dalil nya. Kenapa sholat itu dimulai takbiratul ihram dan di akhiri salam karena sabda Nabi “sholatlah kamu seperti sholatku”.
Dengan demikian jelas perbedaan ushul fiqh dan fiqh ialah ushul fiqh membahas dasarnya seperti cotoh tata cara sholat tadi ushul fiqhnya adalah hadis Nabi. Sedangkan fiqhnya ialah pelaksanaan amaliahnya seperti contoh tadi ialah mengenai tata cara sholat bahwasanya sholat dimulai takbiratul ihram dan diakhiri salam.

E. Tujuan dan fungsi ushul fiqh

Tujuan dan fungsi ushul fiqh ialah untuk dapat menerapkan kaidah- kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terinci agar sampai kepada hukum-hukum syara yang bersifat amali yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu. Dengan kaidah ushul serta bahasanya dapat dipahami nash-nash syara dan hukum yang terkandung didalamnya. Demikian pula dapat dipahami secara baik dan tepat apa-apa yang dirumuskan ulama mujtahid dan bagaimana mereka sempai kepada rumusan itu.
Para ulama telah berhasil merumuskan hukum syara’ dan telah terjabar secara rinci dalam kitab-kiab.fiqh. lantas untuk apa kitab fiqh dikemudian hari bagi umat yang akan datang? Dalam hal ini ada dua fungsi/maksud mengetahui ushul fiqh.
1. Bila sudah mengetahui metode ushul fiqh yang dirumuskan ulama terdahulu, maka bila suatu ketika menghadapi masalah baru yang tidak mungkin ditemukan jawabannya atau hukumnya dalam kitab-kitab fiqh terdahulu, maka kita akan dapat untuk mencari hukum terhadap masalah yang baru itu dengan cara menerapkan kaedah-kaedah hasil rumusan ulama terdahulu.
2. Bila menghadapi masalah hukum fiqh yang terurai dalam kitab-kitab fiqh, tetapi mengalami kesukaran dalam penerapannya karena sudah begitu jauh nya perubahan yang terjadi, dan kita ingin mengkaji ulang rumusan fuqaha yang terdahulu atau ingin merumuskan hukum yang sesuai dengan kemaslahatan dan tuntutan kondisi yang menghendakinya, maka usaha yang harus ditempuh adalah merumuskan kaidah baru yang kemungkinan timbulnya rumusan baru dalam fiqh.kaji ulang terhadap suatu kaidah datu menentukan kaidah baru itu tidak mungkin dapat dilakukan bila tidak mengetahuinya secara baik usaha dan caralama ulama lama dalam merumuska masalah. Hal itu dapat diketahui dalam ilmu ushul fiqh.
Atas dasar peraturan-peraturan itulah hukum tidakkan dan ucapan mausia harus diterapkan. Hal ini juga dimaksudkan untuk memberikan batasan bagi setiap manusia yang mukallaf terhadap sesuatu yang diwajib atau yang diharamkan. Dengan kaidah ushul fiqh, diistimbatkan hukum dengan menggunakan al-qiyas atau istihsan atau istishab atau yang lainnya bagi peristiwa yang tidak ada nas bagi lahirnya suatu hukum. Selain itu dapat diketahui dan dipahami esensi hukum-hukum yang pernah didistimbatkan oleh para imam Mujtahid, serta dapat dijadikan kompransi antara mazhab yang berbeda mengenai hukumsuatu masalah. Sebab mamahami suatu hukum ata mengadakan suatu pertimbangan di antara dua hukum yang berbeda, akan melahirkan hukum sesuai istimbat hukum dari dalil yang dipakai. Semuanya itu harus menggunakan ilmu ushul fiqh yang sekaligus sebagai perbandingan fiqh.

F. Sumber pengambilan
Dari pengertian ushul fiqh di atas dapat kita simpulkan bahwa sumber pengambilan Ushul Fiqh itu berasal dari:
1. Ilmu kalam (teologi)
2. Ilmu bahasa Arab
3. Tujuan syara’(maqasyid Asy-syariyah)
Hal itu di sebabkan bahwa sumer hukum (dalil hukum) yang merupakan obyek bahasan ushul fiqh diyakini dari Allah SWT. Berbentuk Alqur’an dan Sunnah. Pembuat hukum adalah Allah, tiada hukum kecuali dari Allah SWT. Hal tersebut merupakan bahasan ilmu kalam.
Ushul fiqh juga membahas adalah lafads, ruang lingkup lafads, seperti ‘aam dan khash, dan sebagainya. ini bararti berkaitan dengan ilmu bahasa Arab. Selanjutnya pengetahuan hukum tidak telepas dari tujuan hukum (maqasyid asy-syriyah) dan hakikatnya hukum. Pengetahuan tentang ini diperlukan agar mampu menetapkan hukum yang tepat dan mengandung kemaslahatan.

G. Penutup
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkanBahwasanya ushul fiqh merupakan dasar atau dalil yang melandasi hukum baik yang taqlidi maupun yang syara’ yang mana menjadi landasan bagi orang mukallaf untuk melakukan amali yang mana hal yang bersifat perbuatan yang di tentuan oleh fiqh seperti sholat, zakat, rukun sholat dan seterusnya. Adapun dalam mengistimbtkan ushul fiqh itu ada beberapa metode pertema, pertama berpegang pada nash yang pertama kali menjadi rujukan aqdalah lafal dan makananya dari Al quran maupun hadis. Kedua adalah al illat walhikmah metode ini disebut qiyas . Ketiga berpegang pada al maqsit al tsanawiyah yaitu syari’.
Ushul fiqh bertujuan untuk dapat menerapkan kaidah- kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terinci agar sampai kepada hukum-hukum syara yang bersifat amali yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu.
Adapun sumber Ushul Fiqh Ilmu kalam (teologi)Ilmu bahasa Arab Tujuan syara’(maqasyid Asy-syariyah.