Minggu, 24 Januari 2010

sadd ad dzariah

TUGAS MAKALAH
USHUL FIQH
SADD ADZ-DZARIAH




Dosen pembimbing: Dr. Suhar AM. M,Ag










Disusun oleh:
Ghazali Abbbas
Lukman
Sri Insani






FAKULTAS TARBIYAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SULTAN THAHA SAYFUDIN JAMBI
2008
I. PENDAHULUAN

Setiap perbuatan yang secara sadar dilakukan oleh seseorang pasti memepunyai tujuan tertentu. Yang jelas tanpa mempersoalkan apakah persoalan perbuatna yang dilakukan itu baik atau buruk, mendatangkan manfaat atau menimbulkan mudharat. Sebelum sampai pada pelaksanaan perbuatan yang diutju itu ada serentetan perbuatan yang mendahuluinya yang harus dilaluinya.
Bila seseorang hendak mendapatkan ilmu pengetahuan umpama nya, maka ia harus belajar. Untuk sampai dapat belajar, ia mesti melalui beberapa fase kegiatan seperti mencari guru, menyiapkan tempat dan alat-alat belajarnya. Kegiata pokok dalam hal ini adalah belajr atau menuntut ilmu, sedangan kegatan itu disebut perantara. Jalan atau pendahuluan.
Sebelum melakukan zina, ada hal-hal yang mendahuluinya, sepserti rangsangan yang mendorong berbuat zina dan penyedian kesempatan untuk melakukan zina itu. Dalam hal ini zina disebut perantara atau pendahuluan.
Perbuatan-perbuatan pokok yang dituju oleh seseorang telah diatur oleh syara’ dan termasuk ke dalam hukum taklifi yang lima atau yang disebut al-ahkam al khamsah. Untuk dapat melakukan perbuatan pokok yang disuruh atau yang dilarang, harus terlebih dahulu melakukan perbuatan yang mendahului nya. Keharusan melakukan atau menghindarkan perbuatan yang mendahului perbuatan pokok itu ada yang telah diatur sendiri hukumnya oleh syara’ dan ada yang tidak diatur secara langsung contohnya:
1. Whudu adalah perbuatan pendahuluan (perantara) untuk melaksanakn shlat, namun kewajiban itu sendiri telah diatur hukum nya dalam Al Quran. Dalam hal ini jelas bahawa hukum untuk perbuatan pendahuluan (perantara) itu sama dengan hukum bagi perbuatan pokok yaitu sama-sama wajib.
2. Menuntut ilmu hukumnya wajib berdasarkan hadist Nabi. Namun untuk terlaksananya kewajiban menuntut ilmu itu, ada yang harus dilakukan sebelumnya, seperti mendirikan sekolah. Tetapi untuk mendirikan sekolah itu tidak ada dalil hukumnya secara langsung. Dapatka dikatakan bahwa membuat sekolah wajib sebagaimana wajibnya menuntut ilmu sebagai perbuatan dituju?
3. Berzina adalah perbuatan haram yang harus dijauhi. Untuk dapat menjahui perbuatan zina itu haurs menghindari perbuatan yang mendahuluinya, yang dapat mengantarkannya pada zina, seperti berkhlwat (berdua-duaan ditempat sepi). Khlwat sebagai perbuatan perantara bagi zina itu sendiri sudah ada hukumnya (haram) yang ditetapkan dalam hadist Nabi. Dalam hal ini hukum perbuatan pendahuluan (perantara) adalah sama dengan hukum perbuatan pokok yang dituju, yaitu sama-sama haram.
Berwhudu sebagai perantara bagi wajibnya sholat. Hukumnya adalah wajib, demikian pula berkhalwat sebagai perantara kepada zina yang diharam, hukumnya adalah haram. Masalah seperti ini tidak diperbincangkan para ulama karena hukumnya sudah jelas. Untuk berlaku qoidah:
كِلْوَ سَائِلِ كَحُكْمِ المَقَاصِدِ
Bagi wasiat (perantara) itu hukmnnya adalah sebagaimana hukum yang berlaku pada apa yag dituju.
Persoalan yang diperbincangkan para ulama adalah perbuaqtan perantara (pendahuluan) yang belum mempunyai dasar hukumnya, prbuatan perantara itu disebut oleh ahli ushul dengan Al-dzariah (الذريعة ).

II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Sadd Adz-zariah
Secara bahasa kata Sadd berarti menutup dan al-zariah berarti wasilah atau jalalan kesuatu jalan kesuatu tujuan. Dengan demikian sadd adzariah berarti menutup jalan yang mencapaikan kepada tujuan. Dalam kajian ushul fiqh sebagaimana dkemukakan Abdul Karim Zaidah, Sadd Adz-zariah adalah menutup jalan yang membawa kebinasaan atau kejahatan. Sebagian ulama mengkhususkan pengertian dzariah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudharatan. Akan tetapi, pendapat tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, diantaranya Ibnu Qattim Aj-Jauziyah yang menyatakan bahwa dzariah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan demikian, lebih tepat kalau adzariah (yang dilarang), Fath Fiqh (Zikrul Hakim, Jakarta Timur, 2004) (yang dianjurkan). Pengertian sadd-adzariah, menurut Imam Asy-Syatibi adalah
أَلتَّوَصَّلُ بِمَا مَصْلَحَةُ مَفْسَدَةٍ
Artinya: melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemasalahatan dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa Sadd-Adzariah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan, tetapi berakhir dengan suatu kerusakan.
Contohnya haul (genap setahun) ia menghibahkan hartanya kepada anaknya sehingga dia terhindar dari kewajiban zakat.
Hibbah (memberikan sesuatu kepada orang lain, tanpa ikatan apa-apa) dalam syariat Islam, merupakan perbuatan baik yang mengandung kemaslahtan, akan tetapi bila tujuannya tidak baik, misalnya untuk menghindarkan dari kewajiban zakat maka hukum zakat adalah wajib, sedangkan hibbah adalah sunnah.
Menurut Imam Asy-Syatibi ,ada kriteria yang menjadikan suatu perbuatan itu dilarang, yaitu:
a. Perbuatan yang tadinyaboleh dilakukan itu mengandung kerusakan.
b. Kemafsadatan lebih kuat dari pada kemaslahatan.
c. Perbuatan yang dibolehkan syara’ mengandung lebih banyak unsur keman faatannya.
B. Macam-Macam Dzariah
Para ulama membagi dzariah berdasarkan dua segi-segi kualitas kemaf sadatan, dan segi jenis kemafsadatan.
a. Adzariah dari segi kualitas kemafsadatan
Menurut Imam Abu Syatibi membagi Adzariah kepada 4 macam, yaitu:
a. Dzariah yang membawa kepada kerusakan secara pasti. Artinya, bila perbuatan chariah itu tidak dihindarkan pasti akan terjadi kerusakan. Umpamanya: menggali sumur di depan rumah orang lain pada waktu malam, yang menyebabkan pemilik tumah jatuh ke dalam sumur tersebut. Maka ia dikeni hukuman karena melakukan perbuatan dengan sengaja.
b. Dzariah yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya, dengan arti kelau Dzariah itu dilakukan, maka kemungkinan besar akan timbul kerusakan atau akan dilakukannya prbuatan yang dilarang.
Umpamanya: menjual anggur kepada pabrik pengolahan minuan keras, atau menjual pisau kepada penjahat yang sedang mencari musuhnya, menjual anggur itu boleh-boleh saja dan tidak mesti pula anggur yang dijual itu dijadikan minuman keras, naun menurut kebiasaan, pabrik minuman keras membeli anggur untuk dioleh menjadi menuman keras. Demikian pula menjual pisau kepada penjahat. Kemungkinan besar akan digunakan utnuk membunuh atau menyakiti orang lain.
c. Dzariah yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut kebanyakan. Hal ini berarti bila Dzariah itu tidak dihindarkan seringkali sesudah itu akan mengakibatkan berlangsungnya perbuatan yang dilarang. Umpamanya jual beli kredit. Memang tidak selalu jual beli kredit itu membawa kepada riba, namun dalam prakteknya seirng dijadikan sarana untuk riba.
d. Dzariah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau perbuatan terlarang, dalam hal ini seandainya perbuatan itu dilakukan, belum tentu akan menimbulkan kerusakan. Umpamanya mengali lobang di kebun sendiri yang jarang di lalui orang, menurut kebiasaannya tida ada orang yang lewat di tempat tertutup kedalam lobang. Namun tidak tertutup kemungkinan ada yang nyasar lalu dan terjatuh ke dalam lobang.
b. Dzariah dari segi kemafsadatan yang ditimbulkan
Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziah, pembagian dari segi ini antara lain sebagai berikut:
1. Dzariah yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan seperti meminum yang memabukkan yang membawa kepada kerusakan akal atau mabuk. Perbuatan zina yang membawa pada kerusakan tata keturunan.
2. Dzariah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk perbuata buruk yang merusak, baik dengan sengaja, seperti nikah muhalli, atau tidak sengaja sepserti mencaci sembahan agama lain. Nikah itu sendiri hukumnya pada dasarnya boleh, namun dilakukan dengan niat menghalalkan yang haram menjadi tidakboleh hukumnya. Mencaci sembahan agama lain itu sebenarnya hukumnya mubah, namun karena cara tersebut dapat dijadikan perantara bagi agama lain untuk mencaci Allah menjadi terlarang.
3. Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan, namun biasanya samapi juga kepada kerusakan yang mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannya. Seperti berhiasnya seseorang perempuan yang baru kematian dalam masa iddah, berhiasnya perempuan boleh hukumnya, tetapi dilakukannya berhias itu justru baru saja suaminya mati dan masih dalam masa iddah keadaannya lain.
4. Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, namun tekandung membawa kepada keruasakan, sedangkan kerusakannya lebih kecil dibanding kebaikannya. Contoh dalam hal ini melihat wajah perempuan saat dipinang.



C. Kehujjahan Sadd Adz- Dzariah
Dikalangan ulama ushul terjadi perbedaan pedapat dalam menetapkan kehujjahan sadd adz-dzariah sebagai dalil syara’ ulama melikiyah dan hanafiah dapat menerima kehujjahannya sebagai salah satu dalil syara’. Alasan mereka antara lain:
Firman Allah dalam surat An An’am:
وَلَا تَسُّبُوْاالَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ فَيَسُبُّوْاالله عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمِ.... ﴿الانعم 108﴾
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan….(QS: An An’am:108)
Dalam ayat ini Allah melarang kaum muslimin memaki-maki orang musryikin atau tuhan yang mereka sembah. Karena perbuatan yang demikian itu menjadi sebab mereka akan membalas memaki-maki Tuhan Allah SWT.
Dan firmannya lagi:
يَأَ يُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا لَابَقَوْلُوْا رَاعِنَا وَقُلُوْا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوْا......
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): "Raa'ina", tetapi katakanlah: "Unzhurna", dan "dengarlah." .....
Tuhan melarang kum mukmin berkata kepada Rasulullah SAW,raa’ina. Lantaran orang yahudi menjadi kata-kata itu sebagai meda untuk mengejek Rasulullah SAW. Dengan mengertikan kata-kata itu menurut pengertian bahasa mereka.
Sumber dari hadist antara lain, sabdaRasulullah:



“Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya, lalu Rasulullah SAW ditanya,”wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang akan melaknat ibu bapak nya. Rasulullah SAW manjawab”seseoang yang mencaci maki ayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicaci maki orang lain dan seseorang mencaci maki ibu orang lain, maka orang lain pun mencaci maki ibunya.(HR. bukhori dan Muslim).
Kemudian larangan kepada orang yang mempiutangkan hartanya menerima hadahdari orang yang brhutang untuk menghindarkan terjerumus dalamperaktek riba, mengambil hadiah tersebut sebagai ganti atas kelebihan. Dalam kauss lain, Nabi, melarang pembagian harta warisan kepada anak yang membunuh bapaknya(HR. Bukhori dan Muslim) . Larangan ini penting untuk mencegah terjadinya pembunuhan orang tua oleh anak-anak dengan alas an agar segera memperoleh harta warisan.
Dari beberapa nash yang telah dikemukakan diatas, dipahami bahwa Islam melarang suatu perbuatan yang dapat menyebabkan sesuatu yang terlaran, meskipun perbuatan tersebut semulanya dibolehkan.
Sementara dikalangna Hanafiyah, Syafi’iyah dan Syiah hanay menerima Sadd adz-Dzariah dalam masalah tertentu dan mereka tidakmenjadikannya sebagaiii dalil dalam masalah-masalah lain, misalnya, Imam Syafi’I membolehkan seseorang yang karena uzur, seperti sakitdan musafir meninggalkan sholat zuhur, namun, orang tersebut hendaklah melaksanakan sholat zuhur secara diam-diam dan tersembunyi supaya tidak dituduh sengaja meniggalkan sholat jum’at. Begitu pula dengan orang yang tidak puasa Ramadhan karena uzur agar makan dan minum di tempat umum uuntuk menghindar fitnah terhadap orang tersebut. Pedapat-pendapat Imam Syafi’I ini dirumuskan atas dasar perinsip Sadd adz-Dzariah.
Menurut Husain Hamid , salah seoang guru besar Ushul Fiqh fakultas hokum Kairo, ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah menerima Sadd adz-Dzariah apabila kemafsadatan yang akan munscul benar-benar akan terjadi atau sekurang-kurangnya kemungkinan besar (galabah adz-zhan) akan terjadi.
Dalam memandang dzariah, aa dua sisi yang dikemukakan oleh para ulama Ushul:
1. Motivasi seseorang Alma melakukansesuatu. Contohnya, seorang laki-laki yang menikah dengan perempuan yang sudah ditalak tiga oleh suaminya yang pertama. Perbuatan ini dilarang karena motivasinya tidak dibenarkan syara’.
2. Dari segi dampak (akibat), misalnya seorang muslim mencaci maki sembahan orang, sehingga orang musyrik tersebut akan mencaci maki Allah. Oleh karena itu dilarang.
Perbedaan antara Sydfi’iyah dan Hanafiyah disatu pihak dengan Malikiyah dan Hanabilah dan pihak lain dalam berhujjah dengan Sadd adz-Dzariah adalah dalam masalah niat dan akad. Menturut ulama Syafi’iah dan Hanafiyah oleh orang yang bertransaksi. Jika sudah memenuhi syarat dan rukum maka akad transaksi tersebut dianggap sah. Adapun maalah niat diserahkan kepada Allah SWT. Menurut mereka selama tidak ada indikasi yang menunjukkan niat dari perilaku maka berlaku kaidah:


“patokan dasar dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak hamba adalah lafalnya.
Akan tetapi, jika yang tujuan orang yang berakad dapat dtangkap dari bebrapa indicator yang ada, maka berlaku kaidah:


“yang menjadi patokan dasar dalam perikatan-perikatan adalah niat dan makna lafadz dan bentuk formal (ucapan).
Sedangakan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, yang menjadi ukuran adalah niat dan tujuan. Apabila suatu perbuatan sesuai dengan tujuan semestinya, tetapi tidak ada indikasi yang menunjukan bahwa niatnya sesuai dengan tujuan tersebut, maka akadnya tetap dianggap sah, tetappi ada perhitungan a ntara Alah dan pelaku, karena yang paling mengetahui niat seseorang hanya Allah saja, apabila ada indicator yang menunjukkan niatnya dan niat itu tidak bertentangan dengan tujuan syara’ maka akadnya sah, namun apabila niatnya bertentangan dengan syara’, maka perbuatannya dianggap fasid namun tidak ada efeknya hukumnya
Golongan zhaniniyah tidak mengakui kehujahn Sadd adz-Dzariah sebagai salah atu dalil dalam menetapkan huku sayara’ dal itu sesuai dengan perinsip mereka yang hanya menggunakan nash secara harfiah saja dan tidak menerima campur tangan logika masalah hukum.

D. Fath Adz-Dzariah
Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah dan imam Al-Qarafi , mengatakan, bahwa Dzariyah itu adakalanya dilarang yang disebutkan Sadd adz-Dzariah dan adakalanya dianjurkan bahkan diwajibkan yang disebut Fath adz-Dzariah. Misalnya meniggalkan segalaaktivits untuk melaksanakan shalat Jum’at yang hukumnya wajib.
Pendapat tersebut dibantah oleh Wahbah Al-Juahili yang menyatakan bahwa pebuatan seperti di atas tiak termasukkepada Dzariah, tetap dikategorikan sebagai muqaddimah (pendahuluan) dari suatu pekerjaan. Apabila hendak melakukan suatu perbuatan yang huumnya wajib, maka berbagai upaya dalam rangka melaksanakan kewajiban tersebut hukumnya wajib, sesuai dengan kaidah:

Apabila suatu perbutan bergantung pada sesuatu yang lain maka sesuatu yang lain itu pun wajib.
Begitu pula segala jalan yang menunjuk kepada sesuatu yang haram maka sesuatu itupun haram sesuai dengan kaidah.

Segala jalan menuju terciptanya suatu pekerjaan yang haram, maka jalan itu pun haram.
Misalnya: seseorang laki-laki haram berkhlwat dengan wanita yang bukan muhrimnya atau melihatnya, karena hal itu akan memabawa perbuatan haram yaitu zina, menurut Jumhur, melihat aurat dan berkhlwat dengan wanita yang bukan muhrim ini disebut pendahuluan kepada yang haram (muqaddimah al-humah).
Para ulama telah sepakat tentang adanya hokum pendahuluan tersebut, tetapi mereka tidak sepakat dalam menerimanya sebagai Dzariah. Ulama malikiyah dan Hanabilah dapat menerima sebagai Fath Dzariah, sedangkan ulama Syfi’iyah dan Hanafiyah dan sebagian Malikiyah menyebutkannya sebagai muqaddima, tidak termasuk sebagai akidah dzariah, namun nereka seapkat bahwa dal itu bias dijadikan sebagai hujjah alam menetapkan hukum.



KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah kami paparkan, maka daat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut:
Sad Secara bahasa kata Sadd berarti menutup dan adzariah berarti wasilah atau jalalan kesuatu jalan kesuatu tujuan. Dengan demikian sadd al-zariah berarti menutup jalan yang mencapaikan kepada tujuan dengan demikian sadd- Dzariah berarti menutup jalan yang mencapai kepada tujuan, menurut imam Asy Syatibi sadd-Dzariah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan tetapi berakhir seuatu kerusakan.
Para ulama membagi dzariah berdasarkan dua segi; segi kualitas kemaf sadatan, dan segi jenis kemafsadatan.
a. Adzariah dari segi kualitas kemafsadatan
1) Dzariah yang membawa kepada kerusakan secara pasti.
2) Dzariah yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya.
3) Dzariah yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut kebanyakan.
4) Dzariah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau perbuatan terlarang.
b. Dzariah dari segi kemafsadatan
1) Dzariah yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan.
2) Dzariah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk perbuata buruk yang merusak, baik dengan sengaja.
3) Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan.
4) Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, namun tekandung membawa kepada keruasakan, sedangkan kerusakannya lebih kecil dibanding kebaikannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar